TEMPO.CO, Jakarta - Serikat buruh dan pekerja yang tergabung dalam tim perumus klaster ketenagakerjaan Omnibus Law Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja menyampaikan sembilan poin keberatan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, sembilan isu ini merupakan perlindungan minimal bagi buruh.
Menurut Iqbal, target tertinggi KSPI adalah mendesak pemerintah mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dari RUU Cipta Kerja. Namun target moderatnya ialah memastikan sembilan isu itu tak berubah dari yang sudah diatur di Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Sikap dasar 32 serikat buruh yang hadir hari ini kami bersepakat paling minimal tidak ada revisi dari UU Nomor 13 Tahun 2003," kata Iqbal di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Jumat, 21 Agustus 2020.
Sembilan isu krusial yang menjadi keberatan serikat buruh dapat dikelompokkan menjadi tiga poin utama. Yakni kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan kepastian jaminan sosial.
Namun secara rinci, berikut uraian sembilan poin keberatan buruh terkait RUU Cipta Kerja, berdasarkan catatan yang dibuat Said Iqbal dalam tulisan berjudul 'Catatan Kritis Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Klaster Ketenagakerjaan)'.
1. Potensi hilangnya upah minimum
RUU Cipta Kerja hendak mengatur agar upah didasarkan per satuan waktu atau upah per jam. Selain itu, upah minimum hanya didasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP). Sedangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral dihapus.
Kenaikan upah minimum juga hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi. Padahal sebelumnya, kenaikan upah minimum didasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
RUU Cipta Kerja memuat ketentuan upah minimum pada karya dan UMKM. Menurut omnibus law, upah minimum bagi pekerja dua bidang tersebut bisa di bawah upah minimum. Selain itu, pekerja yang tak masuk karena sakit, perempuan yang haid, menikah dan menikahkan anak, menjalankan tugas negara, hingga menjalankan tugas serikat pekerja, tidak ada jaminan upahnya akan dibayar.
2. Potensi hilangnya pesangon
RUU Cipta Kerja memungkinkan penggunaan pekerja outsourcing dan kontrak sebebas-bebasnya. Padahal, keduanya tak mendapatkan pesangon jika diberhentikan dari tempat bekerja.
Pembayaran uang pesangon di RUU Cipta Kerja pun menjadi tidak wajib. Uang penghargaan masa kerja dari 10 bulan maksimal hanya menjadi 8 bulan. Selain itu, seluruh ketentuan yang memungkinkan pekerja mendapatkan pesangon dua kali kepentingan dihapus.
Pekerja yang ter-PHK pun mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Namun menurut Said Iqbal, keberadaan JKP ini berbasis iuran yang diduga dibayarkan oleh pekerja dan pengusaha. "Bagaimana mungkin buruh diminta untuk membayar iuran untuk pesangonnya sendiri?"
3. Karyawan Kontrak Tanpa Batasan Waktu
RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengatur syarat kerja kontrak, batasan waktu agar tidak mudah di-PHK, dan menghindarkan buruh dari eksploitasi yang terus menerus. Artinya, kerja kontrak akan bebas dilakukan di semua jenis pekerjaan dan lama waktu kontrak berdasarkan kesepakatan pengusaha dan buruh.
Padahal sebelumnya kerja kontrak hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang sekali selesai, sementara, dan tidak untuk pekerjaan yang bersifat ettap. Waktu kontrak pun maksimal dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali maksimal satu tahun.
4. Outsourcing bisa di semua jenis pekerjaan
RUU Cipta Kerja mengatur bahwa outsourcing bebas dipergunakan di semua jenis pekerjaan dan tidak ada batasan waktu. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dibatasi untuk lima jenis pekerjaan yang bukan core bisnis. Ketentuan ini dinilai akan membuat outsourcing marak terjadi.